Jumat, 18 Mei 2012

'ARIYAH/ PINJMAN

BAB I
    PENDAHULUAN   

A.    Latar Belakang
Artinya : Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 245)
Kegiatan ekonomi yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari bahkan tanpa kita sadari, pinjam-meminjam sering kita lakukan. Berbicara mengenai pinjaman (‘Ariyah), maka perlu kita bahas mengenai dasar hukum ariyah.
Apa sebenarnya ariyah itu? Bagaimana dasar hukum serta rukun dan syarat Ariyah? Dan apakah pembayaran atau pengambilan pinjaman itu telah sesuai atau tidak? Untuk itu kita perlu mengetahui bagaimana pengembalian yang sesuai dengan syara. Agar kita bisa menerapkan dalam kehidupan nyata. Adapun tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memberi pengetahuan kepada pembaca umumnya dan saya khususnya tentang hal-hal yang berkaitan dengan ‘ariyah dan hukumnya, sehingga kita dapat mengaplikasikannya dalam kegiatan kita sehari-hari. Akhirnya, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Rumusan Masalah
1.    Apa Pinjaman Itu ?
2.    Bagaimana Dasar Hukum Pinjaman Tersebut ?
3.    Apa Saja Rukun dan Syarat Pinjaman ?
4.    Apa Saja Jenis – Jenis Pinjaman  ?
5.    Bagaimana Pembayaran Utang Tersebut ?
6.    Bagaimana Meminjam Pinjaman dan Menyewakannya ?
7.    Apa Saja Tanggung Jawab Peminjam ?
8.    Bagaimana Tata Krama berutang ?

Tujuan
1.    Mengetahui Pengertian Pinjaman Secara Jelas
2.    Mengetahui Dasar Hukum Pinjaman
3.    Mengetahui Rukun dan Syarat Dalam Pinjaman Tersebut
4.    Mengetahui Proses Pembayaran Utang Tersebut
5.    Mengetahui Bagaimana Pinjaman yang Disewakan
6.    Mengetahui Tanggug Jawab dari Peminjam
7.    Mengetahui Bagaimana Tata Krama dalam Berhutang

 
BAB II
PEMBAHASAN

 
A.    Pengertian Pinjaman atau’ Ariyah
    Pinjaman atau ‘ariyah menurut bahasa ialah pinjaman. Sedangkan menurut istilah, ‘ariyah ada beberapa pendapat:
1.    Menurut Hanafiyah, ariyah ialah memiliki manfaat secara Cuma-Cuma
2.    Menurut Malikiyah, ariyah ialah memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan.
3.    Menurut syafiiyah, ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat dari sesorang yang membebaskannya, apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.
4.    Menurut Hanbaliyah, Ariyah ialah kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya.
5.    Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain dengan tanpa di ganti.
    Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ariyah ialah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Bila diganti dengan sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ariyah.


B.    Dasar Hukum ‘Ariyah     
Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (‘Ariyah)  adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani, sebagaimana dikutip oleh Taqiy al-Din, bahwa ariyah hukumnya wajib ketika awal islam. Adapun landasan hukumnya dari nash Alquran ialah:
“dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan.”(Al-Maidah:2)

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa:58)
    Selain dari Al-Quran, landasan hukum yang kedua adalah Al-Hadis, ialah:
    “barang peminjaman adalah benda yang wajib dikembalikan”(Riwayat Abu Daud)
    “orang kaya yang memperlambat (melalaikan) kewajiban membayar utang adalah zalim (berbuat aniaya)”(Riwayat Bukhari dan Muslim)

C.    Rukun dan Syarat ‘Ariyah
    Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah satu, yaitu ijab dan qabul, tidak wajib diucapkan tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijab qabul dengan ucapan.
    Menurut Syafiiyah,  rukun ariyah adalah sebagai berikut:
1.    Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “saya utangkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata “ saya mengaku berutang benda anu kepada kamu.” Syarat bendanya adalah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.
2.    Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan Mus’tair yaitu orang yang menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya, sedangkan syarat-syarat bagi mus’tair adalah:
•    Baligh
•    Berakal
•    orang tersebut tidak dimahjur(dibawah curatelle) atau orang yang berada dibawah perlindungan, seperti pemboros.?
3.    Benda yang diutangkan, pada rukun ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu:
•    Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak syah ariyah yang materinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi.
•    Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara, seperti meminjam benda-benda najis.

D.    Jenis Ariyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh musta’ir bergantung kepada jenis pinjaman, apakah mu’ir meminjamkannya secara muqayyad (terikat) atau mutlaq.
1.    ‘Ariyah Mutlaq
Yaitu pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya tidak ada persyaratan apapun, seperti apakah pemanfaatannya hanya untuk musta’ir saja atau dibolehkan untuk orang lain dan tidak dijelaskan cara penggunaannya.
Contohnya seorang meminjamkan kendaraan, namun dalam akad tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan  dengan  penggunaan  kendaraan tersebut, misalnya waktu dan tempat mengendarainya.
Namun demikian harus disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Tidak boleh menggunakan kendaraan tersebut siang malam tanpa henti. Jika penggunaannya tidak sesuai dengan kebiasaan dan barang pinjaman rusak maka mu’ir harus bertanggung jawab. 

Ariyah Muqayyad
Yaitu akad meminjamkan barang yang dibatasi dari segi waktu dan pemanfaatannya, baik disyaratkan ada keduanya atau salah satunya. Maka musta’ir harus bisa menjaga batasan tersebut. Pembatasan bisa tidak berlaku apabila menyebabkan musta’ir tidak dapat mengambil manfaat karena adanya syarat keterbatasan tersebut. Dengan demikian dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut apabila terdapat kesulitan untuk memanfaatkannya. 

E.    Pembayaran Utang
    Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah musta’ir yang tidak mau membayar utang. Bahkan kalau melalaikan pembayaran utang termasuk aniaya yang merupakan perbuatan dosa kalau dia mampu. Rasulullah Saw bersabda, “Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya”. (HR Bukhari dan Muslim)
    Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman dibolehkan, asal kelebihan itu merupakan kemauan dari musta’ir semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang. Rasulullah Saw bersabda,
“Sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah yang sebaik-baiknya dalam membayar utang”. (HR Bukhari dan Muslim)
    Rasulullah Saw pernah berutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam.Rasulullah Saw bersabda,
“Orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik”. (HR Ahmad)
    Jika penambahan tersebut dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi perjanjian dalam akad perutangan, maka tambahan itu haram bagi mu’ir untuk mengambilnya.Rasulullah Saw bersabda,
“Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba”. (HR Ahmad)

F.    Meminjam Pinjaman dan Menyewakan
    Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa pinjaman boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkan jika penggunanya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut Mazhab Hanbali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan setatusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizing pemilik barang.
    Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang diantara keduanya. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik barang meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak.

G.    Tata Krama Berutang
    Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-piutang tentang nilai-nilia sopan-santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai berikut:
1.    Sesuai dengan QS. Al-Baqarah: 282, utang-piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki dengan dua orang saksi wanita. Untuk dewasa ini tulisan tresebut dibuat diatas kertas bersegel atau bermaterai.
2.    Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarnya/mengembalikannya.
3.    Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berutang. Bila yang meminjam tidak mampu mengembelikan, maka yang berpiutang hedaknya membalaskannya.
4.    Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya dipercepat pembayaran utangnya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berari berbuat zalim.
5.    Mu’ir hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada musta’ir. Bila musta’ir belum mampu membayar, hendaknya diberikan kelonggaran waktu dan bila musta’ir tidak mempunyai kemampuan untuk mengembalikan maka mu’ir hendaknya membebaskannya.



BAB III
PENUTUP


    ‘Ariyah (pinjaman) adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Apabila digantikan dengan sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ¸’Ariyah.
    Dalam ‘ariyah ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi, rukun ‘ariyah yaitu adanya akad (ijab dan qabul), Orang-orang yang berakad, dan barang yang dipijamkan.
Jenis ariyah ada 2 : Ariyah Mutlaq Yaitu  pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya tidak ada persyaratan apapun. Ariyah Mutlaq yaitu pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya tidak ada persyaratan apapun.

DAFTAR PUSTAKA

•    Suhendi, Hendi. Fiqih Mu’amalah. Jakarta : Raja Wali Pers, 2005.
•    http://warungghuroba.wordpress.com/2010/09/21/fiqih-muamalah-bab-7-pinjaman-%E2%80%98ariyah-atau-perutangan-al-qardh-hasan/ ,diakses 21 September 2011
•    Huda, Qomarul. Fiqh Muamalah . Yogyakarta : Teras, 2011.







































Tidak ada komentar:

Posting Komentar